Press: Media Indonesia (indonesien)

11 June 2006

All the versions of this article:
English français Indonesia

Media Indonesia, June 11, 2006.

Garis Tegas Menyeret Bola Mata

Chavchay Syaifullah, Media Indonesia, Jakarta

[Passages XXII, pri­vate col­lec­tion ]

Banyak orang bilang, seni besar ialah seni yang tahan waktu. Lebih dari itu, keku­atannya pun mampu men­transandir waktu, men­gungkap segumpal emosi, segu­dang kisah, dan menangkup sebidang inspi­rasi kein­dahan. Namun per­tanyaanya, bagaimana kita pada hari ini, dapat menge­tahui sese­o­rang ialah sen­iman sejati, yang karya-karyanya tahan waktu jauh ke depan ?
Begitulah per­tanyaan Daniel Komala dalam bahasa ing­gris yang tertera di atas kain putih, tertempel di dinding, pada saat pem­bukaan acara pam­eran luk­isan Jean-Philippe Haure, di Gedung CSIS, Jakarta (31/05). Tak sampai di situ, per­tanyaan sinis Daniel pun men­galir : ‘Anyone can learn about the tech­nique of the mas­ters and no doubt many would become very skillful. But they will remain little else than clever jug­glers of the brush if they fail to express their pro­found on their works.’


Lalu bagaimana dengan Jean-Philippe di mata Daniel Komala ? Daniel tak jawab pasti, yang tersibak hanyalah luk­isan-luk­isan Philippe adalah kat­e­gori luk­isan yang dapat meng­hangatkan hati, penuh kom­pasi dan gairah.
Dalam pam­eran ber­takjub ‘ Passages ’ yang ber­lang­sung hingga 8 juni lalu, Philippe menampilkan 30 luk­isannya. Masing-masing luk­isan ber­judul Passages dengan nomor I hingga XXX.


Hampir seluruh karya pelukis kelahiran Orléans, Perancis, 1969 itu, menangkap tra­disi Bali. Di Pulau Dewata itu Jean-Philippe pernah menetap selama 15 tahun. Lahirlah karya-karya luk­isan yang memi­liki keu­nikan. Dari wajah-wajah perem­puan Bali yang ter­siksa polusi (Passages XIV), hingga laki-laki Bali yang tengah menan­capkan besi (ataukah menan­capkan tra­disi ?) sebag­i­mana tergambar dalam Passages XIX.


Buah empati.


Bila kita ber­tanya apa kehe­batan Philippe ? Dia adalah pelukis yang ber­hasil men­e­mukan per­paduan antara garis sketsa yang realis dan warna luk­isan yang abstrak. Dengan demikian, Philippe bukanlah peluk­isan yang sem­barangan dalam menye­im­bangkan keku­atan bahasa garis dan bahasa warna.
Seperti ungkapan kri­tikus seni rupa Jean Couteau, bahwa salah satu masalah utama yang dialami pelukis manapun adalah men­gelola hubungan antara warna dan garis. Apakah dia akan mem­biarkan warna men­gatur ruang dan kom­po­sisi, sekaligus mem­bentuk benda dan figur-figur manusia ? Apakah dia akan mengikuti irama formal yang diten­tukan oleh latar belakang grafis ? Sebaliknya, apakah garis dapat tetap otonom, bila ruang diin­vasi oleh warna ?
Atas per­soalan di atas, sekaligus atas penga­matan luk­isan Philippe, Couteau kemu­dian melihat genre luk­isan Philippe berada tepat di per­sim­pagan abstraksi dan fig­urasi, antara luk­isan dan fotografi.


Pada sisi lain Couteau melihat bahwa luk­isan Philippe bukanlah luk­isan yang semata-mata menampilkan ekso­tisme Bali. Sebab baginya, ekso­ti­sasi pada dasarnya ber­tumpu pada kesalah­pa­haman. Ketika orang mulai meni­tik­ber­atkan perbe­daan-perbe­daan yang tampil secara luar pada budaya yang ber­sangkutan. Sementara perbe­daan-perbe­daan yang ada bukanlah inti, melainkan detail-detail budaya yang ber­sangkutan. Couteau men­con­tohkan upacara di Bali, serta unsur-unsur serupa yang telah mem­bangun citra pulau ini sebagai surga dunia. Namun proses kre­atif Philippe tidak sampai men­jadi eksotika.


Di sinilah, kita men­e­mukan luk­isan wajah-wajah manusia Bali. Philippe menam­p­likan di atas kein­timan yang melekat pada mereka sendiri. Dia men­coba menelusuri gerak tubuh dan suasana keber­samaan yang men­jadi mereka seolah sebagai manusia tak ternoda. Hal ini sekaligus mem­buk­tikan sikap Philippe yang selalu ter­buka bagi kos­mologi Bali.


Mengapa hal ini bisa ter­jadi ? Couteau menim­bangnya karena Philippe datang ke Bali bukan untuk men­e­mukan kein­dahan surga parawisa­tanya. Dia tidak juga bek­erja untuk alasan-alasan ekonomis. Philippe datang ber­sama imannya, demi jiwa med­i­tat­ifnya. Lebih dari itu, kita bisa men­duga, capaian estetis Philippe bukanlah capaian yang instan. Proses berem­pati ter­hadap lingkungan sek­i­tarnya, dengan menampik kesan-kesan yang lebih dulu dita­mpilkan publik sebagai citraan, telah ia kaji ulang secara kre­atif.


Lukisan-luk­isannya yang ber­warna muram dan redup, seolah men­gun­dang kita untuk mem­baca ulang proses mod­ernisasi dan glob­al­isasi yang kini tengah ber­lang­sung di Bali. Apalagi garis-garis luk­isannya, meski dilatari warna yang abstrak, terus saja meny­eret bola mata kita.


  J-Philippe, Bali Press review Press: Media Indones

Our conversation

© Copyright・ 日ごとの福音・一般社団法人 ・2017~2021